Close Management Berakibat Premature

Senin, 06 Desember 2010

Bila dilihat kondisi objektif Pendidikan Tinggi hari ini, terjadi kenaikan kuantitas yang tajam baik dalam hal jumlah Mahasiswa, Dosen, maupun tenaga Administratif. Kondisi ini telah membawa dampak pada pengelolaan Perguruan Tinggi kearah pengelolaan secara kuantitatif sehingga mendorong tumbuhnya universitas atau mass university yang “kuantitatifisme” yang pada gilirannya akan menimbulkan beragam permasalahan diantaranya sulitnya menegakkan etika akademis seperti :


1). Jumlah dosen dan mahasiswa yang terlalu besar akan memperlemah hubungan keakraban yang pada akhirnya sulit untuk membentuk dan menghidupkan suasana ilmiah.
2). Terdapat persaan bangga, baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa yang tergabung dalam universitas besar karena prestasi teman sejawatnya yang terkemuka (bukan dirinya) yang ditopang keterkaitan akademis dan masyarakat ilmiah lebih luas.
3). Harapan masyarakat terhadap Perguruan Tinggi atau universitas akan out put yang berprestasi dan berdedikasi.
4). Setelah diadakan penilaian ternyata banyak Perguruan Tinggi yang belum terakreditasi atau masih mendapat nilai “D” dalam artian sebenarnya tidak boleh beropersi.
5). Perguruan Tinggi menjadi lahan bisnis yang konsumtif yang menawarkan gelar-gelar simbolik.
6). Manajemen yang amburadul membuat kualitas (mutu ilmiah) Perguruan Tinggi terpuruk lebih dalam.

Melihat hal tersebut di atas tenyata tidak sedikit Perguruan Tinggi di Indonesia khususnya Aceh yang belum terakriditasi apalagi perguruan Tinggi Swasta. Hal ini berarti begitu banyak perguruan tinggi yang tidak boleh beroperasi dalam penilaian BAN. (Badan Akreditasi Nasional). Stigma ini kian memasyarakat dan semakin kuat karena Perguruan Tinggi masih terlalu dikontrol dan diintervensi oleh pihak Yayasan (Perguruan Tinggi Swasta) sehingga ia sulit menjadi jati dirinya sendiri yang dikarenakan intervensi yang berlebihan dari pihak-pihak yang merasa berhak untuk ikut campur tangan.
Manajemen yang tertutup (close management) juga sering kali menjadi kendala kemajuan bagi sebuah Perguruan Tinggi, karena kekuatan financial dan kwantitas Mahasiswa lebih unggul dari kualitas Perguruan Tinggi itu sendiri. Kepemimpinan yang bersifat kekeluargaan dan fasilitas yang kurang diperhatikan akan berdampak pada mutu sarjana yang non Kwalitas dalam bahasa lain Sarjana fremature.
Selain itu juga pengaruh kelas jauh menjadi dampak paling besar terhadap mutu pendikan yang berkwalitas, pasalnya , ilmuan dan tenaga professional dihasilkan dari proses belajar yang tidak semetinya. "Ini adalah pekerjaan berat bagi Dikti dan pemerintah setempat, dan menurut saya Dikti dan Pemda setempat harus segera menerjunkan evaluator untuk melihat sejauh mana kebijakan larangan kelas jauh ini diimplementasikan. Dengan begitu bisa terdeteksi siapa saja yang menyelenggarakan kelas jauh. Beri teguran atau kalau perlu sanksi tegas, banyak hal yang diabaikan dengan adanya kelas jarak ini. Pertama, dosen yang seharusnya selalu berada di kampus dan sewaktu-waktu bisa dihubungi mahasiswa, tidak terjadi. Kedua, sumber dan bahan pembelajaran yang spesifik seperti perpustakaan, tidak ada di kelas jauh. Ketiga, terkait bidang studi yang mengharuskan adanya fasilitas seperti laboratorium, tidak dapat dipenuhi melalui kelas jauh. "Ini sudah menyangkut masalah moral dan etika pendidikan. Apalagi jika nantinya yang dihasilkan dari kelas jarak jauh ini adalah calon-calon guru atau tenaga pengajar. Apa yang akan dia tularkan kepada anak didiknya kalau gurunya saja dilatih dan dihasilkan dari kelas jauh. [yd-a]