Apatisme Mahasiswa Mulai Tumbuh

Senin, 06 Desember 2010


“Kutipan”
"Hendaklah kalian yakin akan eksistensi kalian, mengetahui posisi kalian, dan percaya bahwa kalian adalah para pewaris kekuasaan dunia, meski musuh-musuh kalian menghendaki agar kalian tetap terhina". (Hassan Al - Banna)


Elit Sosial (Intelektual)
Mahasiswa Sebagai Elit Sosial atau yang sering kita sebut kaum intelektual bila meminjam pendapat Gramsci adalah manusia yang memiliki semangat perubahan dalam dirinya yang semangat perubahan itu bertumpu pada aspek kognisinya dalam mengintepretasikan realitas yang ia lihat. Dengan menggunakan pisau analisisnya, intelektual dapat melihat realitas jauh lebih dalam dari pada orang-orang awam kebanyakan sehingga kemungkinan besar intelektual mencari akar permasalahan pun lebih terbuka lebar. Tetapi sekali lagi aspek kognisi dari seorang intlektual tidaklah cukup baginya dalam melihat sebuah realitas dalam masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Michael Foucault, selalu ada aspek kekuasaan dalam ilmu pengetahuan. Artinya kognisi (pengetahuan) seorang intelektual tidak serta-merta membuatnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakatnya, alih-alih, malah pengetahuan yang dimilikinya digunakan oleh penguasa sebagai alat legitimasi bagi kekuasaannya. Lalu apa yang mesti dimiliki oleh intelektual selain aspek kognisi tadi? Gramsci telah menjawab pertanyaan ini. Aspek satu lagi yang diperlukan seorang intelektual dan yang paling penting adalah kesadaran akan tujuan yang ingin dicapai (consciousness). Dengan adanya kesadaran yang dimiliki oleh intelektual maka pengetahuan yang dimilikinya pun digunakan dengan sebuah kesadaran untuk melakukan perubahan. Tapi sekali lagi permasalahan muncul, terkadang kesadaran yang muncul bukanlah kesadaran yang sebenarnya melainkan kesadaran palsu atau yang disebut sebagai kesadaran naif (Naive Consciousness) dimana kesadaran yang dimiliki seseorang sudah terhegemoni oleh kekuasaan tertentu yang ditanamkan melalui indoktrinasi dan pendidikan. Kaum fundamentalis radikal di Afganistan adalah contoh kesadaran naif yang muncul. Kaum fundamentalis tahu bahwa mereka sedang ditindas dan mereka sadar akan hal tersebut dan kesadaran itu menimbulkan sebuah semangat pergerakan diantara mereka, namun kesadaran yang mereka miliki adalah kesadaran yang berasal dari sebuah indoktrinasi bukan dari kesadaran diri dalam melihat realitas dengan kognisinya (akalnya) pada akhirnya yang terjadi adalah sebuah bentuk pergerakan yang reaksioner. Banyak sekali kita melihat seorang intelektual yang hidup dari hasil intelektualnya, dan pemikiran yang dimilikinya hanya dimengerti oleh kaum sesamanya. Intelektual telah membentuk suatu kelas baru di dalam pengelompokkan masyarakat. Intelekual pada dasarnya bukanlah individu-individu yang terlepas dari masyarakatnya, indvidu bahkan seharusnya membaur dalam masyarakat dan berjuang bersama masyarakat dalam mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang adil. Inilah konsep yang disebut oleh Gramsci sebagai intelektual organik (organic intellectual). Intelektual organic adalah intelektual yang lahir dan tumbuh di dalam masyarakat. Dia tidak dapat terpisahkan dari masyarakat dan akan selalu berada dalam masyarakat.

Keadaan mahasiswa dewasa ini
Lalu apa hubungan semua ini dengan Mahasiswa? Mahasiswa kalau boleh saya klasifikasikan maka tempat mereka adalah di barisan para intelektual. Mahasiswa adalah kaum dimana berkumpul tiga hal yang dibahas diatas, aspek kognisi dan kesadaran (bisa yang kesadaran naif bisa juga yang kesadaran utuh). Dan lebih jauh lagi berani saya katakana bahwa mahasiswa adalah kandidat besar untuk menempati diri dalam posisi intelektual organic. Oleh sebab itu sudah sewajarnya mahasiswa memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Tapi yang kita lihat selama ini, pergerakan mahasiswa tidaklah mencerminkan ketiga hal diatas sana. Mahasiswa, dewasa ini, karena mereka hidup dalam hingar bingar budaya massa (mass culture) dan budaya pop (pop culture) yang dikonstruksi kapitalisme. Mahasiswa jarang sekali yang memakai aspek kognisi mereka untuk melihat realitas masyarakat yang ada. Mereka tidak menggunakan kompetensi pengetahuan mereka kecuali hanya didalam ruang kelas saja tetapi tidak untuk memahami realitas yang terjadi di dalam masyarakatnya. Lalu mahasiswa juga sudah tidak memiliki kesadaran akan apa yang sedang terjadi di masyarakat. Sekali lagi karena mahasiswa sudah terhegemoni (soft hegemony) oleh sebuah kekuatan yang kita sebut kapitalisme global. Seperti yang diutarakan John Lennon, Sex, TV, and Music make you weak. Mungkin itulah yang dapat menggambarkan hilangnya kesadaran mahasiswa. Mahasiswa oleh sebab itu tidak dapat disebut sebagai intelektual organik sebab mereka sudah tercerabut dari tempatnya semestinya yaitu masyarakat. Mahasiswa menjadi sebuah kelas baru yang sangat prestisius, mahasiswa menjadi borju-borju muda dengan masa depan yang cerah dihadapannya.

Kondisi Realitas Mahasiswa dan Kampus
Mahasiswa dan kampus adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, keduannya saling terkait dan mengaitkan diri. Kampus adalah kawah bagi mahasiswa, karena dikampus inilah sikap kritisme dalam memandang permasalahan di urai bebas. Tidak seperti di jenjang pendidikan sebelumnya, apakah itu SMA, SMP, SD, TK apalagi Playgroup. Mimbar akademik, adalah forum yang sangat dihormati dalam dunia pendidikan, dan forum ini hanya dapat kita peroleh di kampus, tempat para mahasiswa yang notabenenya para intelektual muda menimba dan mengasah ilmunya. Ada fenomena menarik, ketika kita sekarang memasuki wilayah kampus. Forum-forum mimbar bebas sudah sangat jarang kita temui. Sudah tidak ada diskusi-diskusi kelompok yang membahas fenomena yang terjadi dilingkungannya dan peranannya untuk mengentaskan masyarakat dari kebodohan dan kemiskinan. Tidak adalagi, forum kritisisme mengenai kebijakan-kebijakan publik yang dibuat oleh para penguasa, karena mereka sekarang asik dengan dunia gemerlap, yang menyulap diri mahasiswa yang tangguh dan kritis menjadi sosok yang prakmatis dan hedonis. Cafe, Palytasont dan tempat-tempat hiburan lainnya jadi sasaran utama mereka, tak jarang juga mahasiswa menghabiskan waktunnya dengan perempuan, mereka hanya sibuk dengan urusan kuliah dan tidak tahu dan mencari tahu apakah ilmu yang dia pelajari memang benar-benar dibutuhkan atau cuma sekedar formalitas mencari gelar kesarjanaan. Sungguh sangat ironi, mahasiswa yang seharusnya kritis dan peduli dengan derita masyarakat yang tertindas oleh sistem yang ada, sekarang menjadi sosok yang prakmatis dan hedonis. Coba kita tengok di cafe tempat-tempat hiburan yang ada, bisa dipastikan tempat ini lebih banyak dikunjungi oleh para mahasiswa dibandingkan di forum-forum study yang mengkritisi segala macam aspek kebijakan publik.

Dampaknya Pada Gerakan Mahasiswa
Dengan keadaan mahasiswa yang seperti itu, maka itu berimbas kepada gerakan mahasiswanya. Gerakan mahasiswa yang seharusnya menyatu dengan masyarakat pada kenyataannya malah menjadi sebuah gerakan baru dalam masyarakat.ciri khas dari gerakan mahasiswa yang paling kentara adalah mahasiswa memposisikan gerakan mereka sebatas gerakan moral an sich. Mahasiswa terkesan menjadi pahlawan kesiangan yang tiba-tiba datang bila ada masalah yang dihadapi bangsa dan setelah menunjukkan muka lantas mahasiswa langsung kembali ke kampus, seperti jelangkung yang datang tak dijemput pulang tak diantar. Padahal sebuah persoalan bangsa tidaklah muncul saat itu saja, melainkan sebuah akumulasi dari kejadian-kejadian yang terdahulu. Permasalahan bangsa harus dilihat sebagai sebuah adegan bukan sebuah potret sehingga untuk menyelesaikannya pun perlu sebuah usaha yang sistematis dan terprogram yang melihat permasalahan dari segi strukturnya. Oleh karena itu hal ini mensyaratkan sebuah perubahan pola pergerakan mahasiswa dari gerakan yang berbasis moral an sich menuju ke sebuah pola yang gerakan sosial yang tetap berbasiskan kepada moral dan intelektual. Dengan begitu gerakan mahasiswa tetap terintegrasikan dalam sebuah gerakan masyarakat yang lebih besar, bersinergi dengan gerakan-gerakan social lain dan tujuan yang ingin dicapai dapat tercapai dengan sebuah gerakan yang massif terkoordinir dan tidak terpecah-pecah seperti yang terjadi dengan gerakan mahasiswa sekarang, baik hubungan gerakan mahasiswa dengan gerakan mahasiswa lainnya maupun hubungan gerakan mahasiswa dengan gerakan masyarakat lainnya.

Idealisme Praksis
Sebuah Usaha Mengkomunikasikan Idealisme Jurgen Habermas menyatakan bahwa teori harus mempunyai maksud praksis. Artinya teori tidak akan bermakna bila tidak ada relevansinya dengan kondisi kehidupan sosial masyarakat. Berangkat dari kerangka ini maka saya mencoba untuk memakai kerangka ini dalam melihat idealisme yang ada pada mahasiswa. Bila kita lihat kembali banyak sekali mahasiswa yang terperangkap dalam dunia idealismenya sendiri. Dia terperangkap dalam dunia ideal yang dibangunnya yang dunia itu sama sekali tidak memiliki relevansi dengan kondisi real masyarakatnya. Dan yang lebih parah lagi terkadang idealisme itu sama sekali tidak terejawantahkan dan termanifestasikan dalam realitas yang sebenarnya. Hal ini disebabkan, meminjam konsep praksis Habermas, karena tidak ada jembatan yang menghubungkan alam idealitas menuju alam realitas. Jembatan yang paling ampuh untuk mengejawantahkan idealisme ini tak lain adalah gerakan sosial yang tersistemik dan terprogram. Kita bisa belajar dari Ikhwnul Muslimin (IM) yang merupakan sebuah organisasi Islam dunia yang didirikan oleh ideolog Islam Hassan Al Banna. Ikhawnul Muslim secara ideologis dapat dikatagorikan (meminjam istilah yang dipakai oleh barat) fundamentalis yang radikal. Tetapi pada kenyataannya gerakan Ikhwanul Muslim adalah gerakan yang dapat diterima oleh hampir mayoritas masyarakat Mesir. Hal ini disebabkan karena IM mampu mengkomunikasikan sebuah idealisme yang secara murni tak dapat diterima oleh masyarakat, tetapi melalui penerapan apa yang saya sebut idealisme praksis, yaitu melalui gerakan-gerakan sosial yang dilakukan IM, IM dapat mengkomunikasikan cita-cita yang diusungnya tanpa adanya resistensi dari masyarakat. Sudah seharusnya mahasiswa menggunakan metode ini dalam mengkomunikasikan idealisme yang dimilikinya. Jangan sampai idealisme yang dimiliki mahasiswa hanya terealisasi dalam bentuk-bentuk demonstrasi yang tidak sistemik dan tanpa arah tujuan yang jelas. Gerakan mahasiswa harus mengakomodir idealisme praksis dan bertransformasi kedalam bentuk gerakan sosial yang berbasis pada moralitas dan intelektualitas. [yd-a]

Close Management Berakibat Premature

Bila dilihat kondisi objektif Pendidikan Tinggi hari ini, terjadi kenaikan kuantitas yang tajam baik dalam hal jumlah Mahasiswa, Dosen, maupun tenaga Administratif. Kondisi ini telah membawa dampak pada pengelolaan Perguruan Tinggi kearah pengelolaan secara kuantitatif sehingga mendorong tumbuhnya universitas atau mass university yang “kuantitatifisme” yang pada gilirannya akan menimbulkan beragam permasalahan diantaranya sulitnya menegakkan etika akademis seperti :


1). Jumlah dosen dan mahasiswa yang terlalu besar akan memperlemah hubungan keakraban yang pada akhirnya sulit untuk membentuk dan menghidupkan suasana ilmiah.
2). Terdapat persaan bangga, baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa yang tergabung dalam universitas besar karena prestasi teman sejawatnya yang terkemuka (bukan dirinya) yang ditopang keterkaitan akademis dan masyarakat ilmiah lebih luas.
3). Harapan masyarakat terhadap Perguruan Tinggi atau universitas akan out put yang berprestasi dan berdedikasi.
4). Setelah diadakan penilaian ternyata banyak Perguruan Tinggi yang belum terakreditasi atau masih mendapat nilai “D” dalam artian sebenarnya tidak boleh beropersi.
5). Perguruan Tinggi menjadi lahan bisnis yang konsumtif yang menawarkan gelar-gelar simbolik.
6). Manajemen yang amburadul membuat kualitas (mutu ilmiah) Perguruan Tinggi terpuruk lebih dalam.

Melihat hal tersebut di atas tenyata tidak sedikit Perguruan Tinggi di Indonesia khususnya Aceh yang belum terakriditasi apalagi perguruan Tinggi Swasta. Hal ini berarti begitu banyak perguruan tinggi yang tidak boleh beroperasi dalam penilaian BAN. (Badan Akreditasi Nasional). Stigma ini kian memasyarakat dan semakin kuat karena Perguruan Tinggi masih terlalu dikontrol dan diintervensi oleh pihak Yayasan (Perguruan Tinggi Swasta) sehingga ia sulit menjadi jati dirinya sendiri yang dikarenakan intervensi yang berlebihan dari pihak-pihak yang merasa berhak untuk ikut campur tangan.
Manajemen yang tertutup (close management) juga sering kali menjadi kendala kemajuan bagi sebuah Perguruan Tinggi, karena kekuatan financial dan kwantitas Mahasiswa lebih unggul dari kualitas Perguruan Tinggi itu sendiri. Kepemimpinan yang bersifat kekeluargaan dan fasilitas yang kurang diperhatikan akan berdampak pada mutu sarjana yang non Kwalitas dalam bahasa lain Sarjana fremature.
Selain itu juga pengaruh kelas jauh menjadi dampak paling besar terhadap mutu pendikan yang berkwalitas, pasalnya , ilmuan dan tenaga professional dihasilkan dari proses belajar yang tidak semetinya. "Ini adalah pekerjaan berat bagi Dikti dan pemerintah setempat, dan menurut saya Dikti dan Pemda setempat harus segera menerjunkan evaluator untuk melihat sejauh mana kebijakan larangan kelas jauh ini diimplementasikan. Dengan begitu bisa terdeteksi siapa saja yang menyelenggarakan kelas jauh. Beri teguran atau kalau perlu sanksi tegas, banyak hal yang diabaikan dengan adanya kelas jarak ini. Pertama, dosen yang seharusnya selalu berada di kampus dan sewaktu-waktu bisa dihubungi mahasiswa, tidak terjadi. Kedua, sumber dan bahan pembelajaran yang spesifik seperti perpustakaan, tidak ada di kelas jauh. Ketiga, terkait bidang studi yang mengharuskan adanya fasilitas seperti laboratorium, tidak dapat dipenuhi melalui kelas jauh. "Ini sudah menyangkut masalah moral dan etika pendidikan. Apalagi jika nantinya yang dihasilkan dari kelas jarak jauh ini adalah calon-calon guru atau tenaga pengajar. Apa yang akan dia tularkan kepada anak didiknya kalau gurunya saja dilatih dan dihasilkan dari kelas jauh. [yd-a]